Belakangan ini, Indonesia sedang diwarnai gelombang aksi massa yang melibatkan mahasiswa dari berbagai daerah. Dari barat hingga timur, suara perlawanan terus menggema di jalan-jalan, menyuarakan keresahan terhadap berbagai kebijakan dan keputusan pemerintah yang dianggap merugikan banyak pihak.
Di tengah massa yang bersatu menyuarakan kegelisahan, gue sadar bahwa fotografi jurnalistik bukan sekedar teknik, tapi keberanian untuk hadir. Untuk menangkap emosi, perlawanan, harapan. Semua ada dalam satu frame. Demo bukan hanyalah keramaian. Ia adalah cerita. Dan tugas kita adalah mendengar, melalui cahaya dan bayangan.
Lewat artikel ini, gue ingin berbagi tips memotret demo untuk fotografer jurnalistik pemula yang bukan hanya dari sisi teknis, tapi juga etika, rasa, dan kesadaran. Biar kalian nggak cuma pulang bawa foto, tapi juga pemahaman dan rasa. Tentang bagaimana sebuah gambar bisa sangat berdampak. Tentang bagaimana kamera bisa menjadi sebuah suara.
Demo di Grahadi Surabaya kemarin, tanggal 24 Maret 2025, menyadarkanku akan banyak hal. Di tengah riuhnya orasi, lautan poster, dan denting ketegangan, aku menemukan diriku berdiri bukan sebagai peserta, bukan pula sebagai penonton, melainkan sebagai saksi. Tanpa rencana, aku menjelma menjadi fotografer jurnalistik dadakan. Kamera di tanganku bukan lagi sekedar alat, tapi jendela menuju narasi yang lebih dalam.
Melihat apa-apa saja yang terjadi di lapangan, terlebih dengan keadaan gue yang tiba-tiba mendadak menjadi fotografer jurnalistik tanpa persiapan apa-apa menginspirasiku untuk berbagi tips memotret demonstrasi buat temen-temen pemula dalam dunia fotografi maupun jurnalistik yang ingin menyuarakan perlawanan lewat fotografi. Dan supaya kalian bisa mengabadikan momen penting demonstrasi dengan baik dan aman.
Tips Memotret Demo untuk Fotografi Jurnalistik Pemula
1. Pahami Konteks Demonstrasi
Ini adalah core/fondasi dari fotografi jurnaslistik. Sebelum memotret, hal pertama yang wajib kalian lakukan adalah memahami konteks demonstrasi. Apa yang sedang diperjuangkan? Dan siapa saja yang terlibat? Misalnya, demo tentang RUU TNI kemarin, cari tau tuntutan mereka, seperti penolakan terhadap perluasan wewenang militer di ranah sipil, kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi TNI, atau desakan agar reformasi sektor pertahanan tetap dijaga.
Sebagai fotografer jurnalistik, kita bukan massa yang dibayar cuma buat ikut-ikutan. Dengan memahami konteks, fotomu akan punya cerita yang kuat dan lebih bermakna, bukan sekedar jepretan acak tanpa ekspresi. Caranya? Coba lebih membaca perkembangan berita dari demonstrasi yang akan diadakan, cek postingan-postingan di 𝕏 karena di sini update-nya lebih cepat.
2. Riset Lokasi dan Rute
Selain konteks, riset tempat juga krusial. Ini adalah cara agar persiapan menjadi matang sebelum berangkat. Demo biasanya punya rute-rute tertentu, misalnya kemarin demonstrasi di Surabaya, dari Gedung Negara Grahadi Surabaya sampai Taman Air Mancur, bahkan sampai Plaza Surabaya. Cari tau titik kumpul massa ada di mana, jalur yang akan dilewati, dan potensi titik bentrokan berdasarkan aksi-aksi sebelumnya biasanya ada di bagian mana. Nggak usah jauh-jauh, deh. Mau parkir di mana aja dulu dari titik kumpul massa-nya.
Google Maps adalah teman hidupmu di sini. Selain itu, coba siapkan escape plan. Kalau-kalau situasi eskalasinya meningkat, misal, aparat mulai pakai gas air mata atau massa jadi ricuh, kalian harus tau ke mana kalian harus lari. Catat juga lokasi gang kecil, kafe terdekat, halte atau masjid yang bisa jadi tempat untuk berteduh sementara. Untungnya, kemarin ada masjid 8 menit jalan dari titik lokasi, jadi gue bisa jeda dan melepas penat sejenak dan berbuka puasa, supaya bisa kembali fokus untuk menangkap momen.
3. Gunakan Alat Pelindung Diri (APD)
Safety first! Demo di Indonesia, terutama di 2025 ini, sering berpotensi represif. Coba liat aja aksi-aksi sebelumnya: water cannon, gas air mata, bahkan lemparan batu dari oknum dan massa bukan hal yang langka.
Makanya, APD adalah wajib hukumnya. Minimal pakai helm konstruksi, masker anti-polusi (bukan masker kain biasa), dan kacamata pelindung kalau punya. Payung juga berguna, bukan cuma buat hujan, tapi buat melindungi kamera dari semprotan air atau benda jatuh. Oh, iya, jangan lupa bawa botol air dan handuk kecil, selain untuk minum, juga untuk bilas mata kalau kena water cannon atau gas air mata. Pengalaman kemarin mengajarkan, bahwa persiapan bisa menyelamatkan gear sekaligus nyawa!
4. Prioritaskan Keamanan Diri
Jangan jadi target! Keamanan diri nggak cuma soal APD, tapi juga penampilan. Pakai baju yang netral, cari tau dresscode warna dari demo, kaos polos hitam atau abu-abu, celana jeans, sepatu lari. Intinya hindari warna-warna yang mencolok atau atribut yang bisa dikira provokator.
Pastikan kamera selalu dipegang erat dan pakai strap kamera yang nggak gampang copot. Simpan juga dompet dan HP di saku dalem, bukan tas punggung yang rawan untuk dirampas.
5. Pilih Gear yang Tepat
Bukan hanya memilih gear yang tepat, tapi juga yang simpel dan efektif. Soal peralatan, jangan bawa terlalu banyak. Yang simpel aja, ini demonstrasi bukan studio foto. Mobilitas adalah kunci. Bawa kamera mirrorless kalau ada, karena ringkas dan kecil bentuknya.
Pastikan baterai penuh dan bawa cadangannya. Begitu pun juga memory card, pastikan cukup. Strap kamera yang kuat juga wajib biar nggak jatuh pas nanti lari. Oh iya, tas waterproof kecil bisa jadi penutup darurat kalau hujan atau kena water cannon.
Bayangkan betapa gilanya momen kemarin karena gue pakai lensa fix. Tapi lagi-lagi ini tergantung style-mu sebagai seorang fotografer. Jungler, Marksman, atau Fighter? Rekomendasiku:
- Jungler: Lensa 24-70mm bisa jadi pertimbangan karena serba guna, bisa potret close-up wajah demonstran atau wide shot kerumunan.
- Marksman: Lensa tele (100-400mm), cocok kalau kamu tipe pengamat yang memotret dari jauh layaknya sniper, misalnya dari balkon atau pinggir jalan.
- Fighter: Lensa wide (16-35mm), pas buat ambil gambar dramatis dari tengah massa.
6. Jaga Privasi dan Etika
Hormati peserta demo. Demo adalah situasi sensitif. Gue baru sadar setelahnya bahwa peserta bisa jadi target aparat atau pihak tertentu kalau identitas mereka ketauan. Jadi, kalau ada wajah yang terlalu jelas di foto, lebih baik disensor, apalagi kalau mereka sedang melakukan aksi massa.
Caranya gampang, di Lightroom, pakai radial gradient di wajah subjek, lalu turunkan exposure-nya sampai gelap total atau turunkan sharpness/clarity-nya. Kalau buru-buru, crop aja bagian kepalanya.
Etika lain: jangan provokasi massa demi dapet foto yang bagus. Misalnya, minta mereka teriak lebih kenceng atau bikin pose. Ini bukan jurnalistik, tapi memanipulasi cerita. Biarkan saja apa adanya, karena ini akan jauh lebih terasa.
7. Cari Angle dan Perspektif Unik
Bikin foto jadi beda! Fotografi jurnalistik bukan cuma dokumentasi, tapi juga seni dalam bercerita. Bagaimana cara kalian menyampaikan cerita lewat visual. Karena visual yang keren aja ngga cukup untuk memberikan impact. Perlu ada makna yang lebih dalam di baliknya.
Di pengalaman demonstrasi kemarin ketika menggunakan lensa fix, jujur, susah untuk movement ke sana kemarinya, karena sesak dan ramai, jadi satu-satunya yang bisa gue andalkan adalah angle. Jadi, coba variasikan angle:
- Low angle: Ambil foto dengan jongkok atau tiarap biar massa terlihat gagah dan powerful.
- High angle: Naik ke tempat tinggi (tangga, kendaraan, balkon) buat nunjukin skala besar demo.
- Detail shot: Zoom ke tangan yang sedang menggenggam poster, ketika sepatu berlumur, atau pilok atau coretan di tembok.
Kepekaan terhadap diri dan sekitar menjadi kunci di sini. Sabar dan terus awasi sekitar. Ketika menunggu momen gunakan mode burst shot yang bisa 5-15 frame per second ini akan sangat membantu. Posisikan sudut pandang menjadi demonstran supaya ekspresi emosi dalam penangkapan gambar bisa tersampaikan lebih dalam.
8. Hindari Malam
Pulang sebelum situasi terlalu memburuk. Waspada di waktu senja ke atas apalagi setelah jam 6 sore. Memang motret di waktu malam bikin foto keliatan lebih cinematic dengan cahaya lampu jalan dan kontras gelap-terangnya. Tapi, jam 6 sore ke atas adalah waktu yang rawan karena aparat biasanya mulai tegas untuk membubarkan kerumunan, massa bisa jadi panik, dan visibilitas kalian turun. Pengalaman kemarin, di jam 5.30 sudah mulai ada penangkapan massa. Kalau dirasa cukup, pulang, jangan memaksakan diri.
9. Hindari Aksi Solo
Berdua lebih aman. Terlebih untuk pemula yang ngga ada pengalaman, sendirian di demo itu resikonya tinggi, karena situasi bisa berubah drastis kapan aja. Di tengah kerumunan demonstrasi bukan cuma resiko fisik aja, tapi juga bisa ganggu fokusmu ketika mengabadikan momen-momen yang krusial. Coba minimal ajak satu temen, apalagi kalo temennya berpengalaman, dia bisa ngawasin situasi dan juga nolongin kalian kalau kena apa-apa nantinya. Jangan lupa untuk saling berkabar ketika terpisah, apalagi sinyal internet yang sering jelek di lokasi demo.
Siap Jadi Fotografer Jurnalistik?
Dari pemahaman konteks untuk memperdalam emosi, sampai persiapan gear dan juga etika, semuanya penting untuk bikin karya yang lebih bermakna sekaligus juga jaga diri. Fotografi jurnalistik itu enggak cuma soal skill, tapi juga butuh keberanian yang besar dan tanggung jawab. Itu aja tips dari gue. Stay safe semua!