Cara Pandangku Terhadap Hubungan

Cara Pandangku Terhadap Hubungan
If the sky pink and white

Gue termasuk orang yang bisa dibilang buruk jika berurusan dengan "hubungan antar manusia". Terdengar aneh memang, mengingat karya-karya gue yang kebanyakan mengangkat tema tentang kemanusiaan, human-interest/street photography. Tapi justru, di sini letak menariknya. Let me explain..

Kita sama-sama tau bahwa manusia itu makhluk yang nggak pernah puas dengan hal apa pun, serakah, egois, merusak, munafik, suka menghakimi. "I hate humans!", kalau kata Princess Mononoke (same girl). Dan karena ini, gue berusaha keras untuk menjaga jarak dari suatu relations (hubungan) dan lebih baik menghindarinya.

Lebih tepatnya, nggak ingin membuat hubungan yang nantinya akan di-expect lebih. Perasaan terikat, keterbutuhan, yang di mana akan mengarahkan hubungan menjadi terlalu dalam di antara kita sehingga tercipta jurang. Mau hal itu mengarah ke positif atau negatif. Gue pengennya dalam hubungan apa pun, dianggapnya sebagaimana orang yang biasa aja, bahkan datang ketika butuh pun tak apa. Karena ini menjadi bukti bahwa gue bermanfaat ke sesama. Menjadi orang baik sebagaimana mestinya. Simpelnya, kenal gue layaknya orang yang baru pertama kali kenal aja.

Mau nantinya mereka menganggap diri ini spesial, gue nggak akan terpengaruh, dan akan tetap sama. Menganggap lo juga sebagai orang yang biasa aja. Ini yang membuat gue memperlakukan semua orang setara, nggak ada yang spesial, nggak ingin adanya keterikatan. Kenapa gue punya pemikiran relations yang seperti ini? Dan apa sebenarnya yang mendasari?

Penuh Dengan Dunia Sendiri

Gue terlalu menikmati dunia gue sendiri. Saking menikmatinya, sampai-sampai ngga butuh lagi validasi dari luar diri, dari orang-orang lain, alhasil nggak pernah ngerasa kesepian sama sekali. Inilah kenapa gue bisa sampai jarang berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain, membuat relations dengan manusia lain. Bukan karena nggak peduli, tapi memang beneran sibuk dan fokus aja sama dunia sendiri.

Mengenal diri sendiri dan melakukan hobi itu entah kenapa fullfilling banget rasanya. Penuh. Mangkanya hal ini bisa menjadi landasan awal terbentuknya pemikiran gue terhadap relations. Karena gue nggak mau waktu dengan diri gue sendiri rasanya terampas begitu saja.

Karena jujur, Pak, boro-boro untuk ngurusin begitu banyaknya emosi manusia lain, yang udah tau pada dasarnya, manusia itu begitu complicated-nya. Belum lagi dengan berbagai asumsi liarnya. Ini sama kayak membuang-buang waktu dan emosi diri gue aja. Terlebih lagi, gue orangnya perasa abis.

This mind is just already full of myself and what I'm interested in. Terlalu banyak referensi dan hal-hal asyik dan luar biasa di luar sini yang gue belum eksplorasi. Begitu banyak film, buku, musik, animasi, game yang belum dijelajah. Terlebih mencari orang-orang yang satu visi, satu pemikiran denganmu "type of my people", beuh, kalo udah nemu kalian tipe orang-orang yang kek "gue banget nih". Abis kalian dimakan dunianya. Karena memang seseru itu!

Contoh orang yang "gue banget" yang gue temui belakangan ini adalah, Vivian Maier. Rasanya kayak masuk ke dunia lain—masuk ke dalam jiwanya lalu menyamakan perspektif, melihat dengan kepala sendiri tapi dari tubuh orang lain. Sehingga bisa mengetahui cara berpikirnya, karena berusaha untuk mengerti lingkungan dan juga pola pikirnya. "Kalo gue jadi orang ini.. iya, lagi, gue bakalan ngelakuin ini juga.", dan seterusnya. Orang-orang yang relate seperti ini membuat gue semakin penuh, hidup dengan dunia gue sendiri.


Terlalu Perasa Sebagai Manusia

Yes, penyakit orang yang terlalu perasa apa biasanya adik-adik? Yak, benar. Overthink. Memikirkan perkataan atau aksi diri sendiri setelah melakukannya, misal, "Apa iya kata-kata gue menyakiti hatinya? Kayaknya terlalu jujur, deh." Akhirnya selain merugikan diri sendiri, ini juga yang membuat diri makin complicated lagi, gimana bisa coba orang bisa genuine dan pure lagi dalam hubungan seperti ini? Tentu akan terlalu 'corrupt' jadinya.

Entah kenapa gue dari dulu orangnya perasa banget, intuisinya kenceng, mampu mengetahui intensi dan gerakan-gerakan kecil lawan bicara yang nggak banyak dilihat oleh kebanyakan orang. Tujuan dia sebenarnya apa? Maksudnya apa, kayak bisa tau aja, dan hal ini terjadi berkali-kali sehingga menciptakan pola yang bisa sangat jelas untuk dilihat. 'INFJ things' lah intinya. (If you know, you know)

Hal ini yang membuat gue susah untuk bisa membangun hubungan yang 'baik'. Karena gue nggak mau hubungan yang cetek tanpa kedalaman yang berarti, yang tujuannya untuk sekedar mencari pengakuan atau yapping belaka aja. Gue maunya kita bahas filosofi, film, politik, sejarah, dan banyak topic 'deep' lainnya. We talk about ideas, not people. Semacam obrolan jam 3 pagi. Dan, orang yang seperti ini itu sedikit. Karena mereka juga berpikiran sama seperti gue sekarang ini. 

Karena ini, gue bisa dibilang terlalu 'deep' untuk manusia pada umumnya, terutama di sekitar gue. Kayak nggak relevan aja gitu dunianya, untuk urusan hal apa pun dalam hubungan, dengan bagaimana caranya bekerja, aneh aja gitu buat gue. Hal-hal kecil sekali pun. And I'm taking it seriously. Kayak don't fit in easly gitu. 

Bukan karena gue menganggap diri gue lebih tinggi, tapi karena gue memang punya cara pandang yang berbeda, lebih reflektif, lebih peka, dan lebih personal terhadap banyak hal. Ini membuat gue susah untuk "fit in" atau merasa cocok secara sosial, karena orang-orang di sekitar seolah bermain di permukaan, sedangkan gue menyelam jauh.

Contohnya, gue lebih suka ngobrol langsung, daripada chat atau telepon. Karena kita nggak bisa tau intensi, ekspresi muka, dan nada dari pembicara, nggak bisa merasakan lebih koneksinya. Ketika ngobrol langsung tatap muka, toh jadi bisa lebih leluasa untuk ngobrolin ini dan itunya, nggak ada waktu untuk ngetik nonsense, langsung bisa reply tanpa drama ini dan itu. Yapping juga jadinya lebih leluasa dan enak.

Dan lagi, sebagai seorang perasa juga berarti gue nggak mau berurusan dengan asumsi-asumsi liar dan aneh yang biasanya muncul karena perasaaan ini. Sungguh, karena tanpanya aja it is already a wild mind. Sense-ku terhadap sesuatu bisa jadi sangat sensitif, dan gue jadi banyak berasumsi tentangnya, tapi biasanya apa yang gue asumsikan beneran kejadian. Karena gue udah terbiasa untuk melihat pola dalam diri manusia dan interaksinya.

Cukup banyak waktu yang gue gunakan untuk merefleksi diri, jadi biasanya taking it deeply and kinda overthink it (nggak yang segitunya, kok, masih sangat bisa dikendalikan karena mostly terdistraksi dengan dunia sendiri). Overthink-nya bukan tentang orang lain, tapi tentang bagaimana cara gue bereaksi yang seharusnya, semestinya, "Harusnya tadi ngerespon seperti ini-itu". Padahal buat orang pada umumnya, ya, hal ini biasa aja gitu.

Menjadi seorang perasa itu membuat hubungan menjadi rumit, karena hubungan yang gue jalani inginnya berlandaskan rasa purity, jujur, genuine dalam hubungan. Sementara kebanyakan hubungan tidak seperti ini. Oleh karena itu, lebih baik nggak berurusan dengan hal-hal yang berhubungan dengan manusia dan kompleksitas relations-nya. Terlalu aneh aja buat gue dan nggak relevan di state of mind gue yang sekarang. Intinya, prefer not.


Nggak Bisa Basa-Basi

Karena pada dasarnya gue orangnya udah filosfis abis, ditambah perasa, gue jadi nggak bisa banget untuk basa-basi. Kalo jelek, ya, gue bilang jelek. Kalo nggak suka, ya, gue bilang ngga suka. Gue jujur, dan apa adanya, tapi kebanyakan orang misinterpret ini sama dengan jahat. Pola pikirnya berbeda. Hal yang sebetulnya baik, mereka anggap jahat, karena nggak bisa melihat dari sudut pandang yang benar. Padahal baik untuk improvement dirinya. Rata-rata orang mana mau relations yang kayak gini? Kebanyakan maunya divalidasi terus perasaannya.

Kalau ada masalah gue selalu berusaha keras untuk mencari bagaimana cara penyelesaiannya. Bukan cuma yang dengerin aja, tapi juga berusaha untuk menyelesaikannya. Apa yang nge-trigger? Nggak mau berlarut-larut dan ngambek-ngambekan nggak jelas, misal.

Gampangnya, orang itu disatukan dengan referensi. Tenang aja. Kalau referensinya sama, kita pasti gampang akrab, kok. Akan lebih gampang sekali untuk nyambung. Misal, lo suka Frank Ocean, gue juga suka, ya gimana nggak akrab coba? Titik tumpu permasalahan dalam hubungan biasanya gitu, referensi yang nggak nyambung, akhirnya jadi basa-basi, deh.

Kalau pun mau bicarain hal-hal yang nggak penting (yapping atau basa-basi), at least, bicara mengenai hal-hal yang relevan di bidang orang tersebut, yang tujuannya pun untuk ng-improve diri sendiri, karena ada impact di sana. Orang-orang tipikal kayak gue ini suka banget untuk bantu orang improve, mangkanya gue nulis ini semua sekarang.

Jadi kalau mau basa-basi misal untuk contoh case-nya gue, bisa mengenai hal-hal yang berhubungan dalam ranah seni, jadinya gue anggap hal ini penting, karena relevan. Lebih mantep lagi kalau basa-basinya offline, sebisa mungkin dan memang lebih baik offline aja ngobrolnya. Nggak bisa banget dipisahkan oleh jarak, gue harus liat muka lo!


Intensitasnya Mengganggu

Intensity hanya membuatku berekspektasi. Jadi, lebih baik dieliminasi.

Gue orangnya nggak suka untuk berekspektasi dalam hal apa pun yang gue lakukan. Gue melakukan A, ya karena intensinya ingin melakukan A aja tanpa maksud di baliknya. Tapi, beriring dengan berjalannya waktu, dalam suatu hubungan, idealnya, ketika terus menjalin hubungan satu sama lain, kontakan terus, maka akan ada intensitas yang terbangun. Semakin lama, semakin sering. Hal ini seakan-akan perlahan merampas apa yang penting untuk gue, dan ini bisa menjadi sangat mengganggu. Terutama dari sisi emosi diri. Seakan-akan interaksi kita ke depannya menjadi sebuah kewajiban dan jadi terikat.

Gue tipikal yang kalo ada di hubungan, bener-bener yang nggak mau kontakan sama sekali kecuali ini adalah hal penting. Simpelnya anggap gue nggak ada HP gitu aja deh. Kontak gue nih kontak darurat di HP lo. Sama kayak gue ada Instagram, tapi mostly gue cuma pakai buat upload karya aja, and that's it. 

Fitur social-nya aja bahkan gue hilangkan dalam social media. Males banget orangnya untuk jawabin sesuatu, ya, itu tadi, either chatnya yang nggak penting atau terlalu basa-basi. Jadi gue ngerasa nggak nyaman aja dengan intensitas ini.

Selain itu, chatting yang terlalu sering bisa bikin gue nggak betah berhubungan. Kayak lagi melintir baju yang abis dicuci tau nggak? Lama gue menjawab sebuah pesan ini aja udah menandakan betapa bencinya gue untuk chatting. Apalagi biasanya yang chat nggak to the point, manggil nama dulu. Beuh.

Kalau bisa dijelaskan dalam hal lain relations menurut gue ini lebih cocok seperti Frieren dengan teman-temannya. Temenan udah berpuluh-puluh tahun, tapi nggak kontakan. Itu dia. Kayak gitu. Bisa ngga rata-rata manusianya? Kagak. Cuma satu dua orang aje yang paham. Gue punya temen yang kayak gini, kok, nggak kontakan sama sekali selama bertahun-tahun. Tapi, masih temenan. Apalagi kalo nggak sengaja ketemu momennya. Ya, kayak ketemu orang normal pada umumnya aja. Biasa aja, gitu.



Nggak Mampu Untuk Investasi Waktu

Karena gue saking sibuknya dengan dunia gue sendiri, gue juga jadi ngga punya waktu luang untuk menginvestasikannya ke dalam sebuah hubungan, ngga ada waktu yang tersisa. Contohnya, di hubungan pertemanan, gue ngga bisa banget untuk invest waktu gue to keep up dengan apa yang temen-temen gue lakukan, bahkan untuk sekedar cek story mereka. I really hate Instagram stories, btw, and I don't use the feature too.

Bukan karena gue ngga mau tau apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar gue. Bukan juga karena gue ngga peduli dengan mereka. Cuma intensitas orang, tuh, beda-beda. Nggak punya waktu sebanyak itu. Of course, I will check on you every once in a while. Nggak yang every 24 hours juga. Gue suka, kok, ngestalk temen-temen gue yang lama, "Jadi apa mereka sekarang?, "Gimana kabarnya?", "Lagi suka apa?".

Membuat diri menjadi more 'complicated' dengan intensitas itu bukan preferensi gue aja. Gue lebih baik menginvestasikan waktu untuk hal-hal yang gue senangi dan membuka banyak referensi-referensi lain, sehingga bisa membangun hubungan yang berarti ketika memang dihadapkan dengan hubungan yang sebenarnya. 

Karena ketika orang sudah pernah menjalin interaksi dengan gue, gue ngga akan pernah bisa lupa bagaimana interaksi kita waktu itu. Iye, tentang lu, ketika lu udah masuk ke dalam hidup gue, dengan interaksi sekecil apa pun, gue ngga bakal lupa. Bahkan, in fact, gue masih suka ngecekin update tentang teman-teman SD gue sekarang gimana kabarnya, itu pun jikalau mereka chronological online (yang gue sudah try hard cari ke sana ke mari berbagai media sosialnya). Gue seneng banget kalau dapat kabar baik dari media sosial mereka. 

Karena daripada sibuk ngeliatin story IG lo yang 24 jam itu, gue lebih ingin untuk mengumpulkan rasa rindu yang akan diledakkan suatu saat nanti di saat-saat bengong gue, rasa yearning dan nostalgia itu membuat hidup entah kenapa menjadi lebih hidup lagi. I love this feeling, man.


Rumitnya Diri

Gue sendiri itu orangnya complicated. Rumit. Point of view gue terhadap manusia sendiri aja kalo bisa dibilang udah.. argh, gimana, ya, cara menjelaskannya. It is barely unexplainable. Sesuatu yang hanya bisa diketahui ketika lu menyelami isi pikiran gue aja. It's just too complicated and heavy. Makanya gue spend time lebih banyak untuk refleksi dan mengenal diri. Daripada membuat relations, dan membuat orang terjebak dengan ekspektasi bagaimana rupa sebenarnya diri ini.

Ibarat sebuah metafora yang berusaha untuk dijelaskan.. kan, aneh jadinya? Karena masing-masing dari manusia punya sudut pandang dan experience yang berbeda. Karena hidup yang mereka jalani membentuknya seperti sekarang. Dan satu-satunya yang bisa menginterpretasikannya, ya, orang itu sendiri.


Tidak Ingin Dispesialkan

Dan nggak mau menyepesialkan. Ini salah satu prinsip hidup gue. I tend not to specialize thing, like in general. Bahkan hal yang gue sukai aja nggak gue sukai. Nah, bingung nggak lukh?! 

Dalam hubungan pada umumnya, sudah pasti ketika berteman atau bersahabat menjadi sebuah kewajiban rasanya untuk nge-treat mereka secara berbeda, karena ada attachment dan keterikatan di sana. Namanya aja hubungan. How can you not? Karena kita kenal, jadinya memperlakukannya seperti ini, seperti itu. Nah, gue nggak mau diperlakukan beda kayak gini dan gue juga nggak mau memperlakukan lu secara spesial juga, jadi udah anggep gue sama kayak orang lain aja, yang nggak dikenal, tapi sebenernya kenal gitu. Biasa aja. Jangan menggenggam but embrace it.

Kalian tau lah, semua hal itu sementara di dunia ini. Bahkan emosi itu sifatnya sementara. Kadang kita senang, kadang juga kita sedih. Nah, di saat senang, jangan terlalu senang, begitu pula sebaliknya. Film yang gue suka aja ngga pernah gue tonton ulang. Literally, things in general, hal-hal yang gue suka atau gue sendiri spesialkan, gue sebisa mungkin untuk menganggapya biasa aja. Jadi ketika hal itu hilang pun, gue, ya, biasa aja. Nggak ada ikatan di sana yang akan membelenggu gue nantinya. Semacam stoicism gitu. Man, I love philosophy. Membuat hidup menjadi lebih tenang aja gitu untuk dijalani.


Terus Gimana Caranya Membangun Hubungan?

Gue bukannya ngga mau kabar-kabaran dengan nggak ada kontakan sama sekali, tapi alangkah enaknya kalo kita dipertemukan dengan sesuatu yang saling kita interest, ibarat kalo di jalan gue lagi mau naik gunung, kita ngga sengaja ketemuan tuh. Nah, ini tipikal cara gue berhubungan (Secara metafora ya, bukan literal). Bukan chat dengan bilang, "Bil, apa kabar?" blablablabla.. 

Memang, terkadang ini penting, tapi kalo lu betulan ngenal gue, lu ngga akan nanyain, "Hai, apa kabar?" Tapi, malah, "Hei, bil, udah nonton ini belum? Gue lagi interest ke ini, nih, blablabla.." Apa pun, asal ranahnya seni, karena gue bisa relevan di situ. Film ini, foto itu, buku ini, musik itu, apa pun. Gue bisa dibilang pendengar yang baik, sangat teramat baik malah bisa dibilang. Karena biasanya, interaksi yang gue lakukan berlandaskan rasa ingin improve orang, membantu orang, tanpa balasan. Ini menjadikan api dalam diri gue menyala, membuat hubungan semakin baik karena terbakar api semangat.


Mengenai Interaksi

Belakangan ini gue jadi paham, bahwa orang itu akan diingat dari interaksi yang dia buat dengan orang lain. Entah kenapa gue ingat betul orang-orang yang selalu 'show up' di karya-karya gue ketika sedang upload sesuatu. Ngga tau kenapa selalu aja keinget gitu, "Oh, ini, yang selalu show up di karya gue". Dia semacam meninggalkan jejak gitu, perasaan yang tertinggal. And it felt nice, ketika gue nginget mukanya, rasanya seneng aja gitu, misal. 

Yang mana justru ini hal yang menakutkan, gue nggak begitu pengen untuk dikenal atau dikenang yang gimana-gimana, gue cuma mau ngasih impact supaya orang lain bisa improve, tanpa berharap apa pun. Apalagi untuk diingat secara terus-menerus seperti bagaimana gue mengingat orang yang show up di karya-karya gue tadi. 

"Kenapa jarang interaksi di media sosial?

Sebetulnya simply karena nggak mau put ekspektasi bahwa lu tuh sespesial itu di mata gue. Kaga. Biasa aje. Please. Anggap diri, biasa saja. Misal, nih, ekspektasi aneh yang dibuat oleh seseorang lewat media sosial:

Contoh aja ya, gue lagi jalan sama si B. Gue upload di story, intensinya pure hanya untuk membagikan momen itu karena lagi hunting foto, dan seru aja gitu. Nah, si G ngeliat ini. Karena ngerasa dirinya spesial, akhirnya nanya, "Kok gue nggak diajak, Bil?". Padahal ya... itu kebetulan aja gue lagi mau jalan sama si B, berhubung rumahnya deket, ngga ada masalah apa pun sama si G. Tapi kesannya kayak.. jadi wajib ngajak gitu? Merasa spesial? 

Kalaupun nggak diajak, kesannya jadi kayak gue ada masalah sama dia. Lagi-lagi karena merasa spesial. Padahal enggak ada masalah sama sekali, kebetulan guenya aja yang lagi mau jalan sama si B. Nggak semua hal harus selalu melibatkan semua orang, kan? Kadang kita juga cuma pengen nikmatin momen sama orang yang lagi cocok di waktu itu aja, tanpa maksud apa-apa.


Gue Cuma Mau Sendiri.

Contoh kasus lainnya adalah ketika gue lagi jalan sendirian ke tempat apa gitu, terus share ke story, lagi-lagi ada pertanyaan yang masuk, "Nggak ngajak, Bil?". Ya, kan nggak harus ngajak? Kalo gue mau ngajak, ya, bakal gue ajak. Simpel. Ini dia yang gue sebalkan. Ekspektasi jika hubungan terlalu dalam, sehingga menciptakan jurang, mangkanya gua hindari untuk menspesialkan orang-orang tertentu. Biasa aja, semua sama porsinya.

Dan satu lagi. Gue nggak ngajak lo karena simply gue lagi mau sendiri. Sekali lagi, nggak ada intensi ke sana. Untuk menyakiti perasaanmu karena ngga diajak. Mangkanya, jangan merasa spesial jadi orang. Karena, Gue. Simply. Cuma. Mau. Sendiri. 

Kenapa, yak, orang-orang susah bener untuk memahami hal ini? Lu tuh nggak diajak, karena dianya lagi pengen sendirian aja, atau lagi pengen sama orang-orang tertentu karena lebih relevan aja misal ketika dia bawa ke tempat itu. Nggak ada rasa ingin supaya dia menyakitimu, kagak, mangkanya counter-nya jangan merasa bahwa diri ini spesial di mata orang lain, biar lu nggak disakiti dengan espektasi yang lu ciptakan sendiri tentang orang itu.

Akhirnya apa? Lu tiba-tiba jadi benci orang itu, padahal orangnye kagak ngapa-ngapain. Gila banget. Cara orang mereaksi sesuatu itu jadi aneh lewat media sosial, makanya gue eliminasi kata sosial, dan hanya menggunakannya sebagai media. Cukup. Hanya untuk mengekspresikan diri, tanpa satu pun orang terlibat di dalamnya.

Nah, ini semua kan contoh sesuatu yang nggak bisa dikontrol sebenernya, tapi anehnya ngga bisa di gua, karena orangnya perasa tadi. Jadi mau ngga mau gue harus eliminasi hal ini. Untuk kewarasan diri sendiri.


Q & A Bentar

"Apakah punya trauma terhadap relationship as a general? Makanya bisa mikir kayak gini?"

Enggak. Sama sekali enggak. Hubungan gue semuanya baik. Gue bahkan bisa dibilang orang yang nggak punya musuh sama sekali di hidup gue. Karena jarang punya kedalaman relationship yang begitu intense. Gua berteman baik dengan semua orang. Kecuali orangnya yang nggak berpikiran demikian karena punya asumsi-asumsi tertentu tentang gue. 

Bahkan di tiap sekolah dulu, kan, ada tuh grup-grup nakalnya. Nggak ada satu pun yang bisa dibilang musuh atau semacamnya, pasti kalaupun ada mereka yang mulai masalah duluan ke gue. Karena sungguh, bisa dibilang emotional intellegence gue dalam kondisi yang sangat prima, sangat baik. Gue pure tipikal orang yang prefer pengen sendiri aja. Like, for real, for real.

"Tapi, emang bisa manusia hidup sendiri kayak gitu?"

Ya, jelas enggak, lah. Manusia itu makhluk sosial, interaksi sudah jelas yang utama. Ngga mungkin lah, gue ngga berhubungan sama sekali dengan manusia lain. Simpelnya di sini, gue cuma ngga mau menspesialkan orang-orang tertentu di hidup gue aja.

Ya, intinya tipikal relations yang biasa aja gitu. Gimana, ya, cara jelasinnya? Ya, kata yang bisa menjelaskan, ya, biasa aja. Maksudnya, ngga usah terlalu berlebihan menganggap gue semacam sahabat atau semacamnya. Karena gue ngga bisa menanggung beban title yang diberikan semacam ini. Intinya, biasa aja. Jangan ada ekspektasi apa pun tentang gue. Tapi kalau butuh bantuan? Of course, jelas, gue pasti akan coba bantu. Secara gue ini Sagittarius x INFJ. How can I not?!


Pada Akhirnya..

Inilah kenapa hubungan gue bisa terbilang buruk dalam hal relations. Alasannya, ya, semua poin di atas yang gue coba berusaha jabarkan. Gue paham ketika melakukan ini, itu juga untuk kebaikan orang-orang di sekitar gue sendiri sebetulnya, yang akan mencoba menjalin hubungan dengan gue. 

Supaya lu pada, terhindar dari ekspektasi bahwa Billy tuh gini, gini, gini.. dan jadinya sakit hati dan misinterpret ke mana-mana. Kadang orang suka sama orang lain itu karena espektasi yang dia buat tentang bagaimana orang ini seharusnya, bukan karena memang kenal betul sama orangnya dan apa adanya. Contoh simpelnya, orang suka ketika orang ini bakal berotot nantinya, bukan dia waktu sekarang ini yang lagi cungkring di hadapannya. 

Espektasi semacam ini yang paling ngga bisa bikin gue kuat untuk menjalani relations yang "special". Inilah kenapa gue nggak mau menspesialkan siapa pun ketika udah kontakan. Karena kalau udah kontakan sama gue, udah pasti nggak akan sama rata feedback-nya, dia menggebu-nggebu karena misinterpret bahwa "gue ini spesial di mata lo karena udah ngebantu a, b, c", sedangkan gue nganggapnya biasa aja, baik as a human in general.

When you give that much attention to me, I just don't deserve it. Bukan artinya gue rendah diri gitu, ye, kagak. Gue bahkan bisa jamin ketika gue adalah best friend lo, Gue 1000% akan jadi friend yang gila-gilaan bucin karena gue tau how relations should work. Genuine-nya ituloh apalagi. Kalo gue memang betulan menginvestasikan waktu gue untuk ini. Karena gue tau, gue ini pendengar yang sangat baik. Gue hanya terlalu sibuk aja dengan dunia gue sendiri dan jadi nggak ada waktu untuk investasi ke relations. Lebih baik digunakan kepada orang yang tepat, yang betul-betul menginvestasikan waktunya juga terhadapmu.  

Pesan terakhirku, manusia pada dasarnya itu tempatnya salah. Maka, jangan pernah berekspektasi lebih kepada manusia, yang ada kecewa kalian. Satu-satunya tempat untuk menaruh harap adalah kepada yang di atas.

I also noticed real people barely have friends...

Orang-orang yang 'real' tulus tidak mudah diterima. Karena mereka terlalu apa adanya, terlalu jujur. Karena kebanyakan orang cuma menginginkan cermin, bukan hubungan yang nyata. Jadi, yang asli/tulus ini berakhir sendirian, atau hanya dengan satu atau dua orang yang benar-benar bisa melihat siapa mereka sebenarnya.

Keaslian itu sering berjalan di jalan yang sepi. Kekuatan tumbuh dari kesadaran diri, visi, dan kedisiplinan, bukan dari hubungan yang dangkal. Kelemahan itu butuh pengakuan secara terus-menerus, padahal pertumbuhan sejati lahir dari kedalaman, bukan jumlah. Pilih dengan bijak, bergeraklah dengan tujuan, dan bangun hal-hal yang benar-benar berarti. Teruslah mendaki.

Saat kamu menikmati waktu dengan dirimu sendiri, kamu hanya akan mentolerir orang-orang yang mau menjaga kedamaianmu. Begitu kamu mulai melihat dunia apa adanya dan bagaimana dunia memperlakukan orang-orang, semuanya berubah. Rasa sepi itu perlahan hilang, karena apa yang ada di luar sana sebenarnya bukan cerminan dari apa yang selaras dengan dirimu.

Kadang entah kenapa gue ngerasa ada semacam aura pelindung di sekitar kita, untuk menjaga jiwa-jiwa yang murni. Terakhir, tonton video ini sebagai penutup.